Membumikan
Pancasila Dalam Kerangka Pancasila
Sejarah jatuh-bangunnya
bangsa-bangsa dan peradaban memberi pelajaran bahwa perkembangan suatu bangsa
sangat ditentukan oleh karakter, etos, dan etika social bangsa yang
bersangkutan. Krisis karakter dan moralitas yang melanda suatuu bangsa dapat
mengarah pada kebangkrutan bangsa yang bersangkutan.
Telah berlalu masa yang
panjang ketika gairah keagamaan tidak memijarkan keinsyafan berbudi dan tidak
pula mendorong etos kerja dan semangat berbagi. Mayoritas penduduk masih
percaya pada tuhan, tetapi moralitas ketuhanan itu sendiri makin terlepas dari
praktik politik. Kehidupan politik disuburkan oleh nilai-nilai luhur. Praktik
politik direduksi sekadar menadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang
sebagai proses pencapaian kebijakan bersama. Polotik dan etika terpisah seperti
terpisahnya air dengan minyak. Akibat kebijakan dasar kehidupan bangsa seperti
sipilitas, responsipilitas, keadilan dan integritas runtuh.
Kita perlu memperkuat
kembali visi politik yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional yang
terus membayangberakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda
jiwa bangsa. Suatu usaha pemulihan perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai
spiritual dan etis kedalam wacana dan
perilaku politik.
Sila ketuhanan
menekankan prinsip bahwa moralitas dan spiritualitas keagamaan berperan penting
sebagai bantalan vital bagi keutuhan dan keberlangsungan suatu Negara-negara.
Hanya saja, sebelum agama dijadikan panduan moralitas dan kejuangan politik,
(komunitas) agama sendiri dituntut melakukan refleksi dan pembenahan diri. Cara
beragama harus diperbarui dengan melakukan transformasi pada dimensi mitos,
logos, dan etos keagamaan.
Mitos lama yang
memercayai bahwa kemenagan suatu kelompok keagamaan harus dibayar oleh
kekalahan kelompok lain harus diakhiri. Kepercayaan baru perlu dihadirkan
dengan kelapangan untuk berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan secara
bersama. Pengetahuan dan pemahaman (logos) keagamaan perlu ditingkatkan dan
dipercaya secara intertekstual dengan narasi-narasi lainnya, karena kedangkalan
dan kepicikan merupakan pangkal fundamentalisme. Etos keagamaan juga perlu
ditransformasikan dari etos kependekaran dan kepremanan (yang mendorong
kekerasan) menuju etos kerja dan kreativitas (yang mendorong produktivitas dan
daya saing bangsa).
Bersambung…………….
1
Di ambil dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar